Name : Triani Sofi Nurrahmah Nick name : call me anything what you feel better Birth Date : March 15th 1996 Birth Place : Indonesia Age : Seventeen :3 Stay at : Rangkasbitung, Lebak, Indonesia From : Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia Religion : Moslem School :
• SMA Negeri 1 Rangkasbitung
• Twelve Science of Three, Senior High School Fav Foods : Fav Drinks :
Well, I hate all about insect a lot. Why? Because I had a dream, there is
insects surrounded me. Very crazy dream, ever I had. I love cat :3 I think I
have a CRAZY LIFE. If you know my story life, you will shock and cry. Okay,
forget about it. Lastly, I'm funny! Right now, you already know
some about me. Always keep smile =)
Please give them a big claps. They are amazing and helped me. Check it out
» AuliaSeptiya | she is
amazing nazihah | she helped me one | codes of sliding two | icon three |
background four | pictures
Sendiri
di bawah temaram gemerlap kota. Memisahkan ragaku dari mereka. Mereka yang
berjalan beriringan, bergandeng tangan dan saling tertawa. Seolah ingin sekali
membuatku terbuai hanya untuk melihat dalam jarak pandangku saja.
Bukan
aku iri pada pandangan bodoh dihadapanku. Hanya saja aku tidak terbiasa seperti
itu. Aku masih teringat akan sesuatu, kenanganku, masalaluku, dan semoga itu
adalah masa depanku.
Tapi
aku tidak yakin akan hal itu. Berada dalam satu jarak pandang saja aku tidak
pernah, apalagi untuk membayangkan ia hadir dalam diriku lagi. Seperti
menemukan jarum dalam jerami istilahnya. Aku tidak bisa berharap banyak, hanya
bisa berangan-angan.
Tempat
inilah yang menjadi saksi bisu akan kenangan masalaluku. Dan juga bintang itu, bintang sirius yang menurutnya terlalu
sama indahnya jika disandingkan denganku. Ah, apa yang ada dalam fikiran ini?
Apa aku sedang bermimpi?
Aku
sering kesini, ke tempat yang banyak sekali menciptakan kenanganku dan dirinya.
Jika mengingat beberapa tahun silam, diriku langsung mengekspresikan sebuah
perasaan antara bahagia dan kecewa.
Hari
ini lebih tepatnya. Tepat dimana aku dan orang itu bertemu, juga tepat dimana
aku dan dirinya berpisah. Kenapa harus seperti itu? Bagiku terlalu rapih dalam
kisah klasik sebuah cerita masalalu.
Tak
terasa mataku mulai basah. Ya, aku menangis. Tapi aku masih tetap bisa
tersenyum meski hati ini begitu sakit menerima tusukan perasaan yang amat
dalam. Atau dalam bahasa psikolog disebut Eccedentesiast.
Secarik
kertas lusuh yang sudah lama tersimpan dan setiap hari aku baca hanya untuk
mengeksplor perasaan rinduku padanya. Ini hanya satu kenangan yang ia beri,
sebelum orang itu pergi menghilang dari jarak pandangku.
“Lost.”
Ucapku monolog.
Memang
begitulah yang sedang aku alami. Janji memang hanya sebuah ucapan klasik yang
semua orang bisa menciptakannya. Hanya letak perbedaannya pada orang itu akan
menepatinya atau tidak.
Baiklah,
memang aku yang salah. Meninggalkan orang yang memang lebih tulus menyayangiku hanya
untuk oranglain. Bukan orang lain sebenarnya, tetapi lebih tepatnya pada impianku.
Aku
rindu saat diri itu selalu ada disetiap waktuku. Aku rindu pada kekhawatirannya
yang amat dalam padaku. Aku rindu akan nasehat bijaknya. Aku rindu saat ia
memanggilku dengan panggilan itu. Dan intinya aku rindu padanya.
Tapi
sepertinya setiap detik kerinduanku tak akan pernah berujung indah. Apakah hari
ini aku juga harus membuat satu sejarah dimana aku sudah tidak kuat lagi untuk
menunggu sosoknya yang pergi meninggalkanku entah kemana?
Baiklah,
sepertinya aku harus.
Ulasan
senyum tercipta lembut dari lekukan bibirku. Meski mata sembab dan memerah,
tapi setidaknya aku sudah ikhlas pada hari ini, dan selamanya.
Memang
ia sudah memiliki masa depan yang indah mungkin. Ketimbang aku, yang masih
mengharapkannya.
Satu
hembusan nafas mampu meyakinkanku, jika aku memang tak seharusnya disini lagi.
Akhirnya aku berdiri dari tempatku sebelumnya, dengan tubuh gontai dan hati
yang amat kecewa.
Surat
hijau itu sudah sangat lusuh. Lebih lusuh ketika tanpa sengaja tanganku
meremasnya hingga tak berbentuk. Memang aku sudah tak membutuhkannya lagi,
bukan? Untuk apa aku menyimpannya.
Daripada
kertas ini sudah entah bisa dibaca atau tidak, lebih baik aku membuangnya saja.
Itu bagus ketimbang aku harus menyimpannya lagi dan bahkan bisa membuat anganku
semakin jauh.
Mengangkat
tanganku perlahan keudara. Bersiap melempar kertas penuh kenangan itu menuju lautan
luas yang tenang nan indah tersorot lampu malam dihadapanku. Satu hembusan
nafas lagi, dan aku siap.
Tiba-tiba..
Sesuatu
yang asing menyentuh lenganku.
Aku
hanya bisa melirik tanpa berani melihatnya. Tangan besar dan hangat, aku bisa
merasakannya menyentuh kulitku yang dingin. Jantungku berdegup kencang saat
perlahan kepalan tangan itu mengendur dan benar-benar terlepas.
Nafasku
naik turun. Masih terlalu panik akan seseorang yang berada di belakangku, yang
beraninya menghentikan aktivitasku yang ingin membuang kertas hijau pemberian
seseorang yang sudah membuatku seperti ini.
Aku
tidak bergerak, dan aku tidak merasakan ada suara dari orang yang masih berdiri
di belakangku. Apa maunya? Semoga ia bukan orang jahat.
“Siapa
kau?” tanyaku dengan suara gemetar tanpa menoleh satu incipun kearah belakang.
Hening.
Ayolah,
apa yang ingin kau lakukan? Jangan fikir aku tidak bisa melawanmu. Kekuatanku
yang sekarang lebih bisa diandalkan ketimbang aku yang dulu. Jadi, siapa kau
sebenarnya?!
Kau
tahu? Sekarang jantungku berdetak lebih cepat dan lebih cepat lagi. Orang asing
di belakangku mulai mendekat! Aku tahu ia dimana, aku tahu! Sekarang ia ada
disebelah sini, sebelah kananku!
Baiklah
Triagenesha Yudhistira, kau ini gadis yang tangguh, kuat, dan berani. Hadapi
orang asing itu! Jika ia macam-macam, keluarkan jurus yang sudah kau pelajari
sebelumnya, meskipun kau masih amatiran.
Ketika
aku sudah siap, dengan sekali gerakan, tanganku mulai terangkat dan menunjuk
tepat kewajah orang itu. Tapi, seketika kata-kata yang sudah ada dalam
fikiranku untuk menghakimi orang asing itu buyar saat mataku dengan cepatnya
mendapati seseorang yang berdiri dengan teguh dan senyum yang bisa membuatnya
berbeda.
“Hai,
apakabar?” ucapnya dengan suara lembut dan khas.
Seketika
aku menangis. Ia datang menepati janjinya.
J
Kami
saling terdiam, tenggelam dalam fikiran masing-masing. Masih begitu ragu bagiku
untuk memulai sebuah perbincangan baru. Padahal, aku dan ia yang dulu selalu
tertawa bersama.
Hembusan
angin malam semakin membuat suasana begitu tegang. Jika saja aku tahu apa yang
harus aku perbuat, mungkin sedaritadi kami sudah saling tertawa seperti dulu.
Hanya
saja karena aku terlalu malu mengingat kejadian tadi yang langsung menangis
dihadapannya tanpa alasan yang jelas. Asal ia tahu, aku rindu padanya. Itulah
air mata rinduku.
Hm,
aku harap ini semua bukan False Awakening,
yaitu keadaan dimana kita merasa bahwa kita sudah bangun, padahal kita masih
tertidur.
“Dingin
ya? Pakai ini.” ucapnya sembari melepas jaket yang digunakannya, karena
melihatku sedaritadi menggosokkan telapak tangan berulang kali. Yang tersisa
hanya kemeja putih dengan lengat terlipat hingga kesiku. Melihatnya seperti
itu, jujur aku takjub. Jauh sekali perbedaannya dulu dan sekarang.
“Tidak
usah!” sanggahku dengan cepat.
“Tapi
kau kan─”
“Tidak!
Pakai saja, aku sudah pakai jaket. Hanya saja tidak tebal.” Kusanggah ucapannya
sekali lagi.
“Oke.
Kau memang tak pernah berubah ya. Sedari dulu hingga sekarang masih saja keras
kepala. Hahaha.” Candanya sambil perlahan tangannya bergerak memakai jaket yang
sempat terlepas tadi.
“Apa
kau bilang?!” astaga, berani sekali ia berkata seperti itu padaku. Ia juga
tidak berubah. Dari dulu hingga sekarang masih saja suka membuatku naik darah.
“Hahaha.
Hanya bercanda.”
Baiklah,
suasana sekitar kami sudah mulai terbuka. Candaan dan tawa sudah mulai
tercipta. Hanya tinggal mempertahankan dan sepertinya itu tidak sulit. Tapi aku
tidak tahu harus bagaimana lagi. Biarkan saja ia yang menciptakan ide dalam berbincang.
“Tria,
bagaimana jika kita mengenang masalalu? Sepertinya itu indah!”
Otakku
berfikir. Apakah indah ya jika masalalu harus dikenang lagi? Bahkan masalaluku
itu ada dihadapanku sekarang. Jika memang akan menjadi indah, aku akan terima.
“Flashback? Tentang apa?” tanyaku untuk meyakinkan.
Ia
merubah posisi duduknya. Terlalu tertarik baginya ketika aku secara tidak
langsung menyetujui permintaannya yang menurutku aneh. Tapi tak apa. Semoga
saja dengan seperti ini kedekatan kami mulai terjalin kembali.
“Tapi
aku bingung mulai dari mana. Apakah kau punya ide, Sky?”
Aku
tertegun. Mendengarnya mengucapkan kata ‘Sky’ lagi rasanya sangat asing.
Panggilan itu memang panggilan khusus darinya untukku. Tapi setelah sekian lama
kami berpisah, rasanya dengan suara dan nada bicaranya itu sangat berbeda.
“Masa
kecil. Ya, masa kecil kita.” jawabku pelan. Seketika bola mata itu berputar dan
senyum manisnya yang sangat aku suka itu terulas indah, menjadikan pemandangan
menyejukkan bagiku. Hanya butuh mempersiapkan diri untuk memulai pembicaraan
selanjutnya.
“Kau
ingat tidak saat kau dan aku saling bertemu? Dimana?” lanjutku dengan wajah
datar.
“Sebuah
pantai, sore hari, saat matahari mulai terbenam. Benar, kan? Mana mungkin aku
lupa.” Ia menjawab dengan percaya dirinya.
“Baiklah.
Tapi kau ingat tidak kita bertemu karena apa?”
Matanya
terpejam sejenak. Tak lama mata itu terbuka lagi bersamaan dengan anggukan
mantap darinya. “Aku menghampirimu yang sedang menangis karena hadiah
ulangtahun yang kau pinta tak dikabulkan oleh kedua orangtuamu.”
“Benar.”
Tegasku. “Lalu, apalagi yang menjadi kenangan saat kita kecil?”
“Mau
aku jelaskan?” tanyanya. Aku berfikir sejenak, setelah itu aku mulai mengangguk
pelan untuk menjawab pertanyaannya.
“Aku
melihatmu duduk di pinggir pantai masih menggunakan gaun ulangtahunmu,
menangis, dan tak mau menatap sekeliling. Karena penasaran, aku berdiri
terpatung di hadapanmu tanpa melakukan apapun. Kau sadar akan kehadiranku.
Kemudian kau terkejut dan berteriak ‘Kau
orang jahat!’. Setelah itu kau─”
“Bukan
itu maksudku.” Potongku ketika ia masih akan menyeruskan ucapannya. “Maksudku,
apakah kau ingat tentang.. um..”
“Panggilan
itu?” tanyanya disela kebingunganku dan hanya bisa aku jawab dengan anggukan
lemah. Ia tersenyum. Sifatnya yang tadi ceria kini berubah menjadi lebih
tenang. Menunjukkan jika ia memang mengerti apa maksudku.
“Kau
menjelaskan padaku jika kau sangat suka pada langit disela-sela tangisanmu kala
itu. Aku senang ketika tangisan itu mulai terhapus dan digantikan dengan
senyuman manis ketika kau melihat keatas. Memang seharusnya begitu, kan?”
jawabnya dengan penuh keyakinan. Ia terdiam sejenak. Kemudian melanjukan
ucapannya lagi.
“Lagipula,
apa yang kau sukai memang sangat cocok dengan kepribadianmu. Maka dari itu,
tidak salah jika aku menyebutmu dengan sebutan ‘Sky’ yang berarti langit.
Terlebih ketika langit itu menyelipkan sebuah bintang yang indah, sirius.”
Tak
terasa seulas senyum terpancar dari bibirku. Meskipun perkataannya begitu
sederhana, tapi aku sangat suka dengan hal itu. Dengan caranya menyampaikan,
terbukti jika ia sudah benar-benar berubah, tentu saja dari segi kedewasaannya.
Aku
terdiam, tak bisa berkata apapun. Dan aku tahu jika ia sangat menungguku
membalas ucapannya. Yaitu menjeberkan bagaimana kisah kecilku denganya. Tapi
aku tidak tahu. Aku bingung bagaimana caranya untuk meneruskan. Bagiku ia
terlalu indah, terlebih ketika harus diungkapkan dengan kata-kata.
“Sea..”
lirihku.
“Ya?”
Kepalaku
yang tadi menunduk, kini mulai terangkat. Menolehkan wajahku pada posisinya,
memandang wajah itu dengan lekat. Menumpahkan segala kerinduanku padanya.
Namun
tiba-tiba jantungku berdegup kencang sekali. Leherku terasa tercekat hingga
untuk menelan ludah pun sulit. Mata yang tadi cerah, kini tiba-tiba menjadi
kabur. Gejala umum bagi diriku.
“Selama
ini kau kemana? Aku menunggumu, Sea. Apakah kau tak tahu betapa rindunya aku
padamu? Kau tega padaku, meninggalkanku begitu saja di sini. Kenapa?”
Air
mata mulai mengalir lembut melalui pipi. Biar, biar tak usah ku usap. Biar ia
tahu berapa besar kerinduanku padanya. Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan
satu hal, tapi aku belum siap. Bukan aku yang seharusnya mengungkapkan itu.
Tapi jika tidak, gejolak yang aku rasa semakin mencekam.
Ia
terdiam. Matanya membulat sempurna ketika aku berhenti berbicara. Mungkin ia
terkejut akan ungkapanku yang tadi. Tapi, melihatnya seperti itu kenapa
jantungku terasa sakit?
Aku
tersenyum, kemudian merubah posisi dudukku. Memandang langit yang hitam dengan
satu bintang. Bintang yang indah, yang menjadi istilah darinya untukku. Bintang
itulah yang ia maksud. Melihat hal itu, otakku mulai bekerja. Terfikir sebuah
kiasan klasik yang sangat cocok untukku dan dirinya.
“Apakah
kau tahu jika ‘Sea’ dan ‘Sky’ mengalami simbiosis mutualisme? Ketika kau
melihat laut, kau pasti akan melihat langit di atasnya. Ketika kau menengadah
ke langit, kau pasti akan menyadari jika laut memiliki luas yang sama. Dan,
ketika kau tahu jika keduanya begitu saling melengkapi, disaat itulah kisah
hidup dimulai.” Ucapku. Perlahan wajah ini menoleh kearahnya. Aku bisa melihat
mata itu mulai berkaca-kaca. “Kau harus tau, langit yang selalu cerah, selama 5
tahun berubah menjadi mendung. Dan kau pasti tahu kenapa.”
“Sky
aku..”
“Aku
tahu, kau kecewa padaku, kan? Maafkan aku Sea. Sungguh jahat diriku menjadi
seorang sahabat yang berani menamparmu hanya karena kau menyebutkan kata yang padahal
sangat aku suka di hadapan semua teman-teman baruku. Sky. Panggilan itu kan
yang menjadi awal dari permusuhan kita? Kala itu aku kalut, Sea. Aku menganggap
panggilan itu adalah panggilan anak-anak.”
“Tapi
aku tidak..”
“Atau
karena teman baruku? Kau hampir marah kan karena aku tak pernah lagi mau
mendengar perkataanmu? Sudah jelas-jelas jika mereka bukan teman yang baik.
Hanya karena satu alasan, alasan yang menurut orang lain sangat bodoh dan tak
masuk akal. Aku berteman dengan mereka hanya karena mereka bisa membantu
mengabulkan impianku. Impian mendalamku untuk pergi ke Jerman. Pada hasilnya? Nothing.”
Seketika
aku menangis. Tak kuasa hati ini menahan gejolak yang benar-benar mencekat. Ini
adalah puncak dari kesedihanku. Orang yang aku rindukan sudah datang, ia
benar-benar datang. Hanya saja kenapa harus selama ini? Aku tak habis fikir
ketika ia pergi begitu saja. Membuatku semakin membenci diriku sendiri.
“Maafkan
aku Henry! Aku tahu aku salah. Tak pernah mau merubah sifatku, terlalu manja
dan keras kepala akan segala hal, sangat jahat kepada seorang yang
sungguh-sungguh peduli kepadaku, yaitu kau! Apakah ini semua adalah balasan
untukku darimu, huh? Jika ya, terimakasih Henry. Sempurna sekali, aku ikhlas
menerima ini semua. Tapi jika kau belum puas membalasnya, kau masih bisa
membalasku sekarang hingga kau puas dan mau memaaf─”
“Sssttt.”
Ketika
diriku kalut, benar-benar berada dipuncak emosiku sendiri, hingga pada akhirnya
aku memberontak. Menumpahkan segala kekhawatiranku padanya. Henry bisa
membuatku terdiam hanya dengan menutup mulutku. Aku tidak marah. Karena aku
tahu emosiku sudah sangat tidak stabil sekarang.
Mataku
membulat, air mata ini tak hentinya keluar manis melewati pipi, dan nafasku
naik turun tak beraturan, tapi Henry tetap saja bisa meneduhkan pandanganku
dengan wajah itu, wajah yang aku rindukan.
Kedua
tangannya menyentuh pundakku. Menenangkanku lewat sentuhan tangannya. Aku tahu Henry
sama sakitnya denganku, terlihat jelas dari sorotan matanya. Tapi Henry
tetaplah Henry, selalu sempurna jika dalam menyimpan perasaan sakitnya. Aku
masih kalah jauh dengannya.
Setelah
aku mulai tenang, Henry mulai mengendurkan tangannya dan berpindah menggenggam
kedua tanganku yang dingin. Alisnya mengkerut saat menyadari jika benda asing
terkepal ditangan kananku. Ya, itu adalah surat lusuh berwarna hijau darinya.
Yang masih aku simpan dan kenang hingga saat ini.
Surat
itu diambil dari tanganku, dan perlahan diluruskan kembali hingga beberapa
tulisan di dalamnya bisa dibaca. Henry tersenyum ketika matanya bergerak membaca
surat buatannya sendiri.
Awalnya
biasa saja. Tapi lama-kelamaan satu tetesan air mata bisa aku lihat menetes
keatas kertas lusuh itu. Aku terkejut. Henry benar-benar menangis!
“Aku
yang seharusnya minta maaf, Tria.” Lirih Henry. “Akulah yang sangat jahat, tak
menepati janjiku terhitung dari surat ini kuberikan padamu. Dalam surat ini aku
berjanji jika aku akan datang tepat dimana hari aku pergi. Tapi selama ini aku
tak juga datang di hadapanmu, kan? Sehingga membuatmu sangat kecewa padaku.”
Tangan
kanannya bergerak mengusap air mata yang masih menggenang di matanya. Perlahan
wajah itu terangkat, memandangku dengan tatapan yang berbeda. Menyiratkan
penyesalan yang amat dalam di sana. Kami bukan satu atau dua tahun kenal,
melainkan bertahun-tahun. Jadi aku tahu bagaimana Henry jika sedang sedih.
“Kau
harus tahu, Sky. Sebenarnya aku pergi karena impianmu. Karenamu aku pergi.”
“Maksudmu?”
“Aku
pergi ke Jerman.”
“Huh?!”
Mataku
membulat seketika. Aku sampai tidak tahu bagaimana caranya untuk menutup
rahangku yang terbuka. Terlalu keras dan sulit untuk menutup. Nafasku tercekat
lagi. Mendengar sebuah pengakuan yang sulit bisa aku terima. Henry pergi ke
Jerman?! Jadi selama ini ia ada di sana?!
“Kau
pergi ke Jerman?!” yakinku dengan suara terbata-bata. “Jadi kau.. kau pergi.. ke..
kau pergi ke.. tapi.. bagaimana bisa?!”
“Karena
hobiku, dan impianmu.”
“Fotografi?”
Angguk
Henry. “Aku iseng mengirim beberapa
foto snapshot yang aku ambil dengan
modelnya adalah kau. Beberapa bulan kemudian, aku mendapat surat khusus dari
tempat aku mengirim foto-foto itu. Akhirnya aku disekolahkan di Jerman, dan aku
belajar banyak di sana.”
Aku
menggeleng. Diriku masih belum percaya sepenuhnya jika Henry─sahabatku sudah
berangkat ke tempat impianku terlebih dahulu, ketimbang aku yang benar-benar
menginginkan pergi kesana.
“Tapi
kenapa kau tak memberitahuku, Henry?”
“Karena
kau menamparku.”
“Maksudmu?!”
“Kita
semua tahu jika langit dan laut tak selamanya sejalan. Laut akan menjadi ganas
ketika langit menciptakan siklus angin dengan skala besar, membuat ombak akan
terjadi lebih tinggi juga mengerikan. Tapi, jika laut sedang menunjukkan
kekuasaannya, belum tentu langit akan peduli. Karena kedudukan langit lebih
tinggi daripada laut.”
“Tak
usah kau menggunakan kata-kata kiasan itu Henry. Sekarang jelaskan padaku!”
Henry
tersenyum. Namun senyum itu membuat jantungku sakit. Ingatanku kembali pergi ke
beberapa tahun silam, ketika hari dimana aku dan Henry bertemu untuk terakhir
kalinya. Dan hari dimana masa pahit dan terakhir kalinya aku melakukan hal itu.
“Sebenarnya
malam-malam aku datang kerumahmu untuk mengabarkan hal bahagia ini. Aku sudah
mempersiapkan semuanya, karena aku tahu kau pasti akan terkejut. Setelah aku
tiba di rumahmu, dengan penuh kegembiraanku, aku berteriak dari jauh dengan
memanggilmu ‘Sky’ berulang kali. Hingga semua teman barumu memandangku dengan
tatapan aneh. Aku tahu kau malu besar kala itu, sehingga kau menangis dan
menamparku secara tiba-tiba. Kau bilang kau benci padaku, dan tak mau bertemu
denganku lagi. Nah, dari situ aku sadar, jika kau benar-benar sudah berubah.
Maka dari itu, aku tak mau mengucapkan apapun dan keesokan harinya aku pergi
tanpa izin kepadamu. Hanya surat hijau ini menjadi jalan penuntunmu agar bisa
bertemu denganku.” Jebernya sambil mengangkat surat hijau di genggamannya itu.
Seketika
aku menangis, tangisan yang amat menyakitkan. Betapa bodohnya aku kala itu. Benar
kan apa yang aku bilang? Henry pergi karena aku! Walaupun secara tidak langsung
tapi tetap saja semua kesalahan ada padaku!
“Tapi
setidaknya aku tidak benci padamu. Dan aku berterima kasih karena kau setia
untuk menungguku. Setiap tahun kau selalu pergi ke tempat ini, kan?”
“Tahu
dari mana kau?!” ucapku dengan nada tinggi.
“Kau
tidak menyadarinya, Triagenesha Yudhistira. Sebenarnya aku.. um.. setiap tahun
aku selalu datang ketempat ini. Hanya saja aku tak berani menunjukkan diriku
padamu. Aku terlalu pengecut hingga hari inilah puncak aku berani bertemu
denganmu, dengan seluruh kesiapan diriku tentunya.”
“APA?!”
“Maaf
Sky, maaf. Aku─”
“HENRY!”
aku berteriak. Sungguh terkejut mengetahui banyak hal yang benar-benar menjadi
rahasia besar alam sekitarku. Sekarang aku hanya bisa menangis, mengutuk diriku
sendiri. Biarpun kami sama-sama salah, tapi tetap saja akulah yang harus
meminta maaf padanya pertama kali. Tapi aku tidak tahu bagaimana.
“Tria
aku..”
“CUKUP
HENRY!” teriakku sekali lagi.
Kedua
tangannya mencengkram kedua pundakku. Menenangkanku yang sudah tak jelas
bagaimana. Tapi dengan sekuat tenaga kutepis kedua tangannya dan mulai menatap
kearah mata hitamnya itu dengan sangat tajam. Meski aku sedang menangis dan
kini diriku benar-benar berada dalam puncak emosi, aku masih kuat.
“Henry
kau hebat! Kau sadar, kan? Kau pergi mengambil impianku. Kau pergi dengan
segala kebebasanmu. Kau pergi seolah aku hanya angin lalumu. Harusnya aku benci
padamu Henry!” dengan kasar kuusap air mata yang mengalir deras melalui pipi.
Aku
masih tangguh menatap matanya yang teduh itu, meskipun nada bicaraku sudah tak
beraturan. “Tapi aku sadar. Karenamu aku bisa mengerti apa itu arti setia. Aku
bisa tahu bagaimana penyesalan itu datang diakhir. Aku faham jika hidup akan
sulit jika dijalankan seorang diri. Dan aku sadar, aku sadar jika kaulah yang
aku butuhkan.”
Mata
Henry membuka lebar. Tak percaya dengan semua yang aku ucapkan padanya. Inilah klimaks dari semua keresahanku.
Akhirnya, dengan segala kesetiaanku menunggu aku bisa bertemu dengannya lagi.
“Aku
tak mau kehilangan lautku lagi. Sungguh, aku tak mau.”
“Menyadari
jika langit memang tak seharusnya bergerak sendiri. Lautlah yang menjadi
penyeimbang dalam hidupnya. Semendung apapun langit, laut akan tetap setia
menaunginya dari bumi tempatnya berpijak.”
Henry
tersenyum seraya mengucapkan kalimat indah itu. Aku yang mendengarnya pun tak
tahu harus bagaimana lagi. Kalimat itu, aku tahu apa maksudnya. Sahabatku, tak
akan pergi meninggalkanku lagi, selamanya.
“Terimakasih.”
Senyum tulus nan berseri kuberikan padanya.
Tubuhnya
sedikit tersentak. Ia menyadari sesuatu yang sedaritadi terlupakan. Alisku
mengkerut melihatnya bertingkah aneh, mencari sebuah benda yang hilang dari
kantongnya. Apa yang ia sembunyikan?
Tangan
kanannya menggaruk asal di bagian rambutnya. Terlihat sedikit frustasi. Yang
sekarang aku lihat adalah, Henry sedang mondar-mandir di hadapanku dengan kedua
tangan di pinggangnya.
“Mencari
apa?” tanyaku. Ia tersadar jika tingkahnya tadi aneh, sehingga aku bertanya seperti
itu. Henry menggeleng tapi wajahnya masih tetap sama. “Benda penting?” tanyaku
lagi, dan dibalas dengan anggukan.
“Sebenarnya
itu..”
“Sudahlah.
Tanpa benda itu juga kau masih bisa melakukan sesuatu yang lain, kan?”
Henry
tersadar. Kepalanya mengangguk cepat. Aku tersenyum ketika melihat wajah innocent nya itu mulai kembali seperti
sedia kala. Tapi yang membuatku aneh adalah, ia menyuruhku untuk bangun dari
duduk. Setelah aku kabulkan, kedua tangannya menggenggam tanganku dan tersenyum
lagi.
“Kau
bisa bahasa Jerman?”
“Sedikit,
belajar otodidak.”
“Bagus.”
“Memangnya
kenapa?”
“Allez Gute zum Geburtstag!” ucapnya
dengan riang.
Aku
terkejut ketia Henry mengucapkan bahasa Jerman yang artinya ‘Selamat Ulang
Tahun’ untukku. Ia ingat dengan hari ini, hari kami pertama bertemu, kami
berpisah, kemudian kami bertemu lagi. Dan, hari itu bertepatan dengan hari
ulangtahunku.
“Vielen Danke, Henry.” Dengan refleks aku
merangkulnya. Mengucapkan terimakasih yang amat dalam padanya lewat sebuah
rangkulan persahabatan.
Namun
tiba-tiba Henry melepaskan rangkulanku dan menatapku dengan tajam. Alisku
mengkerut. Ada apa lagi?
“Ada
satu hal lagi yang harus aku ucapkan. Tapi kau jangat kaget ya.”
“Jangan
kaget? Memangnya apa?”
Henry
mengusap tengkuk lehernya. Masih bingung dengan keinginannya yang sedang
bergejolak seperti sekarang ini. Memangnya Henry mau berbicara apa lagi?
Penting kah itu?
“Semoga
saja ia tidak mengerti. Amin.” Ucapnya sambil menengadahkan kedua tangannya
kelangit.
“Mengerti
apa?”
Tiba-tiba
Henry berlari menjauhiku. Aku yang tersadar jika Henry meninggalkanku mulai
mengejarnya. Tapi aku tak sanggup, daya tahan tubuhku tak setangguh ia. Jadi
aku diam di tempat melihatnya dengan riang berlarian kesana-kemari, seperti
anak 5 tahun. Dan sama keadaannya ketika kami pertama bertemu.
“Sea
tak akan pernah menyembunyikan perasaannya lagi pada Sky. Perasaan yang sudah
sekian lama Sea sembunyikan. Lama sekali, saat Sea dan Sky saling mengikat
janji. Ich liebe Dich Triagenesha Yudhistira!”
teriaknya dari kejauhan.
Mendengar
itu aku terkejut. Tubuhku mematung seketika. Jadi selama ini.. selama ini
sahabatku─Henry, ia.. ia mencintaiku? Astaga.
Erzāhle
nicht, wie du warst, sondern zeige, wie du jetzt bist
Jangan pernah bercerita bagaimana
kau yang dahulu, tapi tunjukan bagaimana kau yang sekarang
–Albania–
Selesai.
HAIII!!!
Mau berbagi cerpen buatanku nih. Ini cerpen bukan sembarang cerpen loh. Tau kenapa? YA YA YA! Karena cerpen ini didedikasikan untuk tugas Bahasa Indonesia di sekolah. Huehehehe~
Banyak cerita naskah yang aku bikin dan save menjadi draft yang gak pernah selesai. Tapi baru yang ini yang udah bener-bener sampe selesai. HOREEEEEEEEE~ Mungkin ini adalah cerpen awal yang bakal jadi cerpen-cerpen selanjutnya yang akan aku buat dan post ke blog. Tapi ya.. gajanji juga sih :D
Cerpen ini tuh banyak kisahnya. Berawal dari niatku ingin buat cerpen yang menggunakan tokohnya adalah aku sendiri, terus ceritanya dari kisah aku sendiri, terus ujungnyamah ENGGAK. Tapi gak apa-apa, malah kalau ceritanya dari imagine kita sendiri tuh rasanya pasti lebih ngena. Kalau cerita dari kisah hidup sendiri malah kesannya kita curcol-,-
Bikin cerpen inituh H-2 dikumpulin loh! Dibikinnya pun dalam satu kali duduk, bukan dibaca satu kali duduk ya? :| Yaudah intinya bikin inituh ekspress bangeeet tapi kataku ini seru bangeeet soalnya imagine aku lagi gatau deh mikir apa kali alhasil jadinya gini.